Selasa, 28 April 2009

CIRI DAN CARA MENULIS PANTUN

1 Ciri-ciri atau Syarat-syarat Pantun

Menurut Zaidan Hendy (1990), pantun mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) tiap bait terdiri atas empat baris kalimat, 2) tiap baris terdiri atas 4-6 kata atau 8-12 suku kata, 3) baris pertama dan kedua disebut sampiran dan baris ketiga dan keempat disebut isi, sampiran melukiskan alam dan kehidupan sedangkan isi pantun berkenaan dengan maksud pemantun, 4) bersajak silang atau a-b-a-b, artinya bunyi akhir baris pertama sama dengan bunyi akhir baris ketiga dan bunyi akhir baris kedua sama dengan bunyi akhir baris keempat, 5) pantun digunakan untuk pergaulan. Maka pantun selalu berisikan curahan perasaan, buah pikiran, kehendak, kenangan dan sebagainya, 6) tiap bait pantun selalu dapat berdiri sendiri, kecuali pada pantun berkait, 7) pantun yang baik, bermutu ada hubungannya antara sampiran dan isi.

Contoh:

Air dalam bertambah dalam,

hujan di hulu belum lagi teduh.

Hati dendam bertambah dendam,

dendam dahulu belum lagi sembuh.

Hubungan antara sampiran dan isi yang tampak pada pantun di atas ialah sama-sama melukiskan keadaan yang makin menghebat.

Pantun yang kurang bermutu, menurut Zaidan, yang diciptakan oleh kebanyakan, umumnya tidak ada hubungan antara sampiran dan isi.

Contoh:

Buah pinang buah belimbing,

ketiga dengan buah mangga.

Sungguh senang beristri sumbing,

biar marah tertawa juga.

Sebait pantun di atas tidak menunjukkan adanya hubungan antara sampiran dan isi, kecuali adanya persamaan bunyi.

Sedangkan menurut para sastrawan luar negeri, ada dua pendapat mengenai hubungan antara sampiran dan isi pantun. Pendapat pertama dikemukakan oleh H.C. Klinkert pada tahun 1868 yang menyebutkan bahwa, antara sampiran dan isi terdapat hubungan makna. Pendapat ini dipertegas kembali oleh Pijnappel pada tahun 1883 yang mengatakan bahwa, hubungan antara keduanya bukan hanya dalam tataran makna, tapi juga bunyi. Bisa dikatakan jika sampiran sebenarnya membayangkan isi pantun. Pendapat ini dibantah oleh van Ophuysen yang mengatakan bahwa, sia-sia mencari hubungan antara sampiran dan isi pantun. Menurutnya, yang muncul pertama kali dibenak seseorang adalah isi, baru kemudian dicari sampirannya agar bersajak. Dalam perkembangannya, Hooykas kemudian memadukan dua pendapat ini dengan mengatakan bahwa, pada pantun yang baik, terdapat hubungan makna tersembunyi dalam sampiran, sedangkan pada pantun yang kurang baik, hubungan tersebut semata-mata hanya untuk keperluan persamaan bunyi. Pendapat Hooykas ini sejalan dengan pendapat Dr. (HC) Tenas Effendy yang menyebut pantun yang baik dengan sebutan pantun sempurna atau penuh, dan pantun yang kurang baik dengan sebutan pantun tak penuh atau tak sempurna. Karena sampiran dan isi sama-sama mengandung makna yang dalam (berisi), maka kemudian dikatakan, “sampiran dapat menjadi isi, dan isi dapat menjadi sampiran.” (http://lubisgrafura.wordpress.com, diakses tanggal 18 Oktober 2008).

Menurut Zulfahnur dkk (1996), sebait pantun terikat oleh beberapa syarat: 1) bilangan baris tiap bait adalah empat, bersajak AB-AB, 2) banyak suku katanya tiap baris 8-12, umumnya 10 suku kata, 3) pantun umumnya mempunyai sajak akhir, tetapi ada juga yang bersajak awal atau bersajak tengah.

Menurut Sumiati Budiman (1987), ada beberapa syarat yang mengikat pantun, yaitu: 1) setiap bait terdiri atas empat bait, 2) setiap baris terdiri atas 4 patah kata, atau 8 – 12 suku kata, 3) baris pertama dan kedua merupakan sampiran, baris ketiga dan keempat merupakan isi, 4) berima a b a b, 5) antara sampiran dan isi terdapat hubungan yang erat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Pantun adalah bentuk puisi yang terdiri atas empat baris yang bersajak bersilih dua-dua (pola ab-ab), dan biasanya, tiap baris terdiri atas empat perkataan. Dua baris pertama disebut sampiran (pembayang), sedangkan dua baris berikutnya disebut isi pantun. Antara sampiran dan isi terdapat hubungan yang saling berkaitan. Oleh karena itu, tidak boleh membuat sampiran asal jadi hanya untuk menyamakan bunyi baris pertama dengan baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat.

2 Cara Menulis Pantun

Untuk menulis pantun, hal yang harus diperhatikan ialah membuat topik atau tema terlebih dahulu, sama halnya jika hendak membuat karangan yang lain. Tema dalam penulisan pantun sangat penting sekali, karena dengan tema pantun-pantun yang dibuat oleh siswa akan lebih terarah kepada sesuatu maksud yang diharapkan. Dan juga tidak akan merebak kemana-mana, yang akhirnya dapat mendatangkan masalah. Memang diakui, adanya sedikit pengekangan kreativitas bagi siswa dalam menulis pantun, jika menggunakan tema yang sempit. Oleh karena itu, guru harus lebih bijaksana dalam memilih tema yang didalamnya dapat mengandung atau mencakup berbagai permasalahan keseharian. Tema yang cocok diberikan dalam proses pembelajaran misalnya saja berkaitan dengan masalah politik, sosial budaya, percintaan, dan kehidupan keluraga. Misalnya, tema tentang sosial budaya dengan mengambil topik soal kebersihan kota atau masalah sampah. Hal pertama yang harus dilakukan ialah membuat isinya terlebih dahulu. Untuk membuat isi harus diingat bahwa pantun terdiri atas empat baris. Dua baris pertama sampiran, dan dua baris berikutnya ialah isi. Jadi, soal sampah tersebut dapat disusun dalam dua baris kalimat, yang setiap baris kalimatnya terdiri atas empat perkataan dan berkisar antara 8 sampai 12 suku kata.

Kemungkinan jika dibuatkan kalimat biasa, boleh jadi kalimatnya cukup panjang. Misalnya: ”Dikota yang semakin ramai dan berkembang ini, ternyata mempunyai masalah lain yang sangat terkait dengan masalah kesehatan warganya, yaitu sampah yang berserakan di mana-mana . . . dan seterusnya.”

Pengertian dari kalimat di atas mungkin bisa lebih panjang, namun hal tersebut dapat diringkas dalam dua baris kalimat isi sebagai berikut.

Jika sampah dibiarkan berserak,

penyakit diundang, masalah datang.

Disinilah kelebihan pantun, dapat meringkas kalimat yang panjang, tanpa harus kehilangan makna atau arti sebuah kalimat yang ditulis panjang-panjang.

Jika isi pantun sudah didapatkan, langkah selanjutnya ialah membuat sampirannya. Walau kata kedua dari suku akhir baris isi pertama dan kedua diberi tanda tebal. Namun jangan hal itu yang menjadi perhatian, tapi justru yang harus diperhatikan ialah pada suku akhir dari kata keempat baris pertama dan kedua, yaitu rak dan tang, sebab yang hendak dicari ialah sajaknya atau persamaan bunyi.

Sebuah pantun yang baik, suku akhir kata kedua sampiran pertama bersajak dengan suku akhir kata kedua dari isi yang pertama. Apalagi suku akhir kata keempat dari sampiran pertama seharusnya bersajak dengan suku akhir kata keempat isi pertama, karena disinilah nilai persajakan dalam pantun itu yaitu baris pertama sama dengan baris ketiga dan baris kedua sama dengan baris keempat.

Tetapi kalau dibuat sekaligus, takut terlalu sulit menyusunnya. Memang tidak sedikit kata-kata yang bersuku akhir pah, misalnya pelepah, sampah, nipah, tempah, terompah, dan sebagainya. Begitupun suku kata yang akhirannya dang, misalnya udang, sedang, ladang, kandang, bidang, tendang, dan sebagainya. Kalaupun sulit untuk mencari kata yang bersuku akhir pah, masih ada jalan lain yaitu dengan membuang huruf p nya, dan mengambil ah nya saja. Begitupun dengan dang, buang huruf d nya, sehingga yang tertinggal hanya ang nya. Tapi jangan sampai dibuang a nya juga, sehingga hanya tinggal ng nya saja karena hal tersebut dapat menghilangkan sajaknya. Begitupun untuk suku akhir dari kata rak dan tang yang menjadi tujuan.

Kata yang bersuku akhir rak dan tang dalam kosa kata bahasa Indonesia cukup banyak, misalnya untuk kata rak, yaitu kerak, jarak, marak, serak, gerak, merak, arak, dan sebagainya. Sedangkan untuk kata tang, yaitu hutang, pantang, batang, petang, lantang, dan sebagainya. Sekarang baru membuat sampiran pertama dan kedua dengan mencari kalimat yang suku akhir kata keempatnya adalah rak dan tang. Misalnya:

Cantik sungguh si burung merak,

terbang rendah di waktu petang.

Kemudian antara sampiran dan isi baru disatukan menjadi;

Cantik sungguh si burung merak,

terbang rendah di waktu petang.

Jika sampah dibiarkan berserak,

penyakit diundang, masalah datang.

Jika menginginkan suku akhir kata kedua baris pertama dengan suku akhir kata kedua dari baris ketiga bersajak juga. Begitupun dengan suku akhir kata kedua baris kedua dengan suku akhir kata kedua baris keempat bersajak agar terlihat lebih indah bunyinya, maka sampirannya harus diubah, menjadi;

Daun nipah jangan diarak,

bawa ke ladang di waktu petang.

Jika sampah dibiarkan berserak,

penyakit diundang, masalah datang.

Demikian halnya jika membuat pantun teka-teki. Misalnya membuat teka-teki tentang parut, salah satu alat dapur yang berfungsi untuk memarut kelapa guna diambil santannya. Jika diperhatikan dengan teliti ada keanehan mengenai cara kerja parut, hal inilah yang dapat mengilhami kepada semua orang untuk membuat teka-teki, yaitu mata parut yang sedemikian banyak itu, cukup tajam. Daging kelapa yang sudah disediakan, dirapatkan ke mata parut, lalu digerakkkan dari atas ke bawah sambil ditekan. Dari pergerakan itu semua, seperti layaknya orang menyapu, dapat dilihat, daging kelapa itu tertinggal diantara mata parut. Ada terus. Semakin gerakan menyapu dilakukan, dagimg kelapa itu semakin banyak dimata-mata parut. Logikanya, orang menyapu tentu lantai akan menjadi bersih, tetapi sebaliknya sangat berbeda dengan bidang bangun parut. Semakin disapu, semakin kotor karena banyaknya daging kelapa yang menyangkut dimata parut. Dari sini dapat dibuatkan inti pantunnya, yaitu Semakin disapu, semakin kotor.

Tugas selanjutnya ialah membuat sampiran. Untuk membuat sampiran, boleh membuat yang sederhana, yaitu hanya untuk mencari persamaan bunyi (bersajak) tanpa mengindahkan makna atau arti atau keterkaitan dengan isi seolah satu kesatuan kalimat yang saling mendukung. Jika ingin membuat sampiran yang sederhana, hal yang dilakukan ialah mencari kosa kata yang bersuku akhir tor atau paling tidak or. Misalnya kantor, setor, dan motor. Jika sudah mendapatkan kosa kata untuk membuat akhiran pantun yang sesuai dengan kata kotor, langkah selanjutnya ialah menentukan letak inti pertanyaannya. Apakah diletakkan dibaris ketiga atau baris keempat. Jika diletakkan pada baris ketiga, kalimat baris keempat dapat dibuat sebagai berikut: apakah itu, cobalah terka. Sehingga hasilnya menjadi:

Semakin disapu, semakin kotor,

Apakah itu, cobalah terka.

Sekarang barulah mencari sampirannya. Suku akhir tor atau or dari kata kotor dapat diambil salah satu saja, misalnya kata kantor, kemudian tinggal mencari suku kata yang berakhir ka dari kata terka, yang merupakan kata terakhir dari baris terakhir. Untuk kata yang bersuku akhir ka, dalam kosa kata bahasa Indonesia cukup banyak, misalnya bingka, ketika, sangka, nangka, dan luka. Misalnya diambil kata bingka. Sekarang kata kantor dan bingka baru dijadikan sampiran, menjadi:

pagi-pagi pergi ke kantor,

singgah ke warung beli bingka.

Kemudian antara sampiran dan isi baru disatukan, hasilnya menjadi:

pagi-pagi pergi ke kantor,

singgah ke warung beli bingka.

Semakin disapu, semakin kotor,

Apakah itu, cobalah terka.

Jadilah pantun teka-teki. Dan jawaban pantun teka-teki itu, tentulah parutan kelapa.

Jika inti pertanyaan diletakkan pada baris keempat, kalimat baris ketiga sebagai berikut: Jika pandai kenapa bodoh. Sehingga hasilnya menjadi:

Jika pandai kenapa bodoh,

Semakin disapu, semakin kotor.

Langkah selanjutnya ialah membuat sampirannya agar lengkap menjadi sebait pantun. Suku akhir kata kantor yang bersajak dengan kata kotor dapat digunakan lagi, sekarang tinggal mencari suku akhir doh, yang akan bersajak dengan kata bodoh. Misalnya kata jodoh sehingga jika dibuatkan sampirannya, menjadi:

Ramai-ramai mencari jodoh,

mencari jodoh sampai ke kantor.

Langkah terakhir baru disatukan antara isi dan sampirannya sehingga menjadi:

Ramai-ramai mencari jodoh,

mencari jodoh sampai ke kantor.

Jika pandai kenapa bodoh,

Semakin disapu, semakin kotor.

Dan jawaban dari pantun teka-teki tersebut tentunya ialah parutan kelapa.

Jika diperhatikan sampirannya dari keempat contoh pantun di atas, memang terasa kurang kuat dan terkesan memaksakan kata-kata hanya untuk mencari persamaan bunyi sehingga kalimat sampirannya tidak mempunyai keutuhan arti. Tetapi hal ini tidak dianggap salah, hanya mutunya dianggap kurang.

Namun, jika dilihat dari pantun-pantun pusaka yang ada, bahwa tidak semua pantun pusaka tersebut dikatakan sempurna atau tinggi mutunya, terkadang ada yang setipa barisnya tidak terdiri atas empat perkataan tetapi hanya tiga perkataan atau ada lima perkataan. Selain itu juga, masih banyak pantun-pantun yang betul-betul hanya mengutamakan persamaan bunyi, padahal tidak bersajak. Seperti kata lintah dengan cinta pada pantun berikut ini.

Dari mana datangnya Lintah,

dari sawah turun ke kali

Dari mana datangnya cinta,

dari mata turun ke hati.

Sepintas lalu terdengar sama-sama berakhiran ta, tapi jika diamati benar barulah terasa bedanya antara bunyi tah dengan ta itu. Yang satu terdengar lebih tebal atau kental dan yang satu terasa ringan.

Demikianlah pantun-pantun yang banyak terlihat, jika dirasakan banyak sekali kekurangannya. Namun, hal itu tidak menjadi masalah justru menjadi canda gurauan, tidak ada niat untuk mengecilkan hati apalagi mencemooh. Begitu benar, sesungguhnya jiwa melayu yang terdapat dalam filosofi pantun tidak suka untuk saling menyakiti apalagi sampai melukai. Begitu indah pantun bagi kehidupan orang melayu khususnya dan bagsa Indonesia umumnya yang telah mendarah daging dalam jiwa dan raga.

Senin, 27 April 2009

PANTUN

1 Sejarah Perkembangan Pantun

Lahirnya pantun erat hubungannya dengan kebiasaan masyarakat lama, yaitu mengemukakan maksud tidak secara berterus terang, melainkan dengan berpikir atau secara teka-teki. Bahkan pada zaman itu orang yang banyak mengetahui dan pandai memahami bahasa berkias dianggap sebagai orang yang berilmu atau orang pandai (Hendy, 1990:48).

Pantun tergolong puisi lama, beberapa keistemewaan pantun dibandingkan dengan bentuk puisi yang lain yaitu pantun relatif lebih mudah ditangkap maknanya. Dengan demikian pantun merupakan salah satu alat yang paling efektif untuk mengungkapkan perasaan.

Pantun sebagai puisi lama (sastra lama), sudah dimiliki oleh nenek moyang bangsa Indonesia sebelum pengaruh kebudayaan Hindu dan Arab masuk ke Indonesia. Pantun adalah warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang paling unik (Suseno, 2008:9). Pantun yang merupakan bagian dari bentuk puisi lama, hampir merata dikenal di seluruh penjuru tanah air (Nusantara), walaupun diucapkan dalam bahasa daerah. Seperti di daerah Tapanuli dikenal dengan nama Ende-Ende, misalnya:

Molo mandurung ho dipahu,

tampul si mardulang-dulang.

Molo malungun ho diahu,

tatap sirumondang bulan.

Artinya :

Jika tuan mencari paku,

petiklah daun sidulang-dulang.

Jika tuan rindukan daku,

pandanglah sang bulan purnama.

Sementara untuk bahasa Sunda dan Jawa, disebut orang Paparikan, seperti Paparikan berikut ini dalam bahasa Banten:

Sing getol ngiman jajamu,

ambeh jadi kuat urat.

Sing getol neangan elmu,

gunana dunya akhirat.

Artinya :

Rajinlah minum jamu,

agar kuatlah urat.

Rajinlah tuntut ilmu,

bagi dunia akhirat.

Sedangkan di daerah Banyuwangi terdapat Pantun Gandrung dan di sekitar Surabaya (Jawa Timur) ada Pantun Ludruk. Misalnya Pantun Gandrung berikut ini.

Kabeh-kabeh gelung konde,

kang endi kang gelung Jawa.

Kabeh-kabeh ana kang duwe,

kang endi sing durung ana.

Artinya :

Semua bergelung konde,

manakah si gelung Jawa.

Semua telah beroleh-oleh,

siapakah yang belum punya.

Pantun pada mulanya merupakan jenis logat bahasa yang hidup di daerah Sumatera. Di Sumatera selain digunakan dalam pergaulan anak-anak muda, pantun juga dipakai dalam upacara adat seperti upacara perkawinan dan lain-lain (Zulfahnur dkk, 1996:90).

Pantun dengan sifat khususnya yang minim kata, dengan lirik-liriknya yang berirama, membuat pantun tampak luwes dan indah. Disamping itu menurut Sumiati Budiman (1987), pantun dapat dipakai sebagai wahana untuk mencurahkan perasaan kepada orang lain dalam segala hal seperti memuji, mengejek atau menyindir, menasehati atau pun bersenda gurau.

Dengan bentuknya yang sederhana serta fungsinya yang besar dalam dunia komunikasi, pantun mempunyai daya tarik untuk memikat masyarakat agar mempergunakannya dalam komunikasi. Dengan keistimewaannya itulah yang menyebabkan pantun mampu bertahan hidup sampai sekarang.

Pembuatan pantun bagi masyarakat awam seolah-olah bukan hal yang sulit. Meskipun mereka pada umumnya tidak mengetahui ciri-ciri pantun yang sebenarnya, mereka mampu membuat pantun dengan cukup baik. Hal ini disebabkan oleh keberadaan pantun dengan ciri-cirinya yang relatif mudah dikenal dan dipahami.

Jika dibandingkan dengan jenis puisi lama lainnya, seperti syair, gurindam, bidal atau mantra, dewasa ini pantun lebih banyak diminati oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh bentuk atau corak pantun yang tidak membutuhkan banyak kata sehingga banyak orang yang mampu membuatnya dengan mudah.

2 Pengertian Pantun

Menurut Suseno dalam bukunya Mari Berpantun (2008:43) dikemukakan bahwa puisi tradisional Melayu (puisi lama), Pantun, telah memainkan peranan yang istimewa dalam perjalanan hidup orang Melayu. Ada dugaan kata PANTUN berasal dari akar kata TUN yang mempunyai arti teratur sebagaimana yang dikemukakan oleh Renward Branstetter. Dari pendapat itu Hoesein Djajadiningrat bersimpulan bahwa pantun ialah bahasa yang terikat dan teratur. Di samping itu, akar kata TUN dalam dunia Melayu juga bisa berarti arah, pelihara, dan bimbing, seperti yang ditunjukkan oleh kata tunjuk dan tuntun. Simpulannya; pantun dapat berarti sebagai bahasa terikat yang dapat memberi arah, petunjuk, tuntunan, dan bimbingan.

Menurut Budiman (1997:18), Pantun ialah puisi asli Indonesia yang tergolong puisi lama dan terdiri dari empat baris. Baris pertama dan kedua berupa sampiran, baris ketiga dan keempat berupa isi.

Menurut Desi Retno Kencono dalam bukunya Apresiasi Bahasa Indonesia (1992:82) mengemukakan bahwa Pantun termasuk puisi asli Indonesia. Pantun sangat terkenal dan digemari oleh masyarakat Indonesia. Pantun biasanya dipergunakan untuk bercanda, menyindir, menasehati, dan lain-lain.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2007:827), pantun ialah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait biasanya terdiri atas empat baris yang bersajak (AB-AB), tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pantun ialah puisi asli Indonesia yang tertua, terdiri atas empat baris tiap baitnya, dua baris pertama berupa sampiran, dua baris berikutnya berupa isi, berima a-b-a-b (silang), biasanya dipergunakan untuk bercanda, menyindir, atau menasehati.

Pantun sebagai warisan budaya leluhur yang sampai saat ini masih tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat perlu adanya pelestarian, sebab pantun merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia.

Senin, 20 April 2009

MENULIS PUISI

Menulis puisi menurut Wiyanto (2005:48), kemampuan menulis puisi sering dianggap sebagai bakat sehingga orang yang merasa tidak mempunyai bakat tidak dapat menulis puisi. Anggapan seperti itu tidak selalu benar, karena kalau membaca kisah sejumlah sastrawan, ternyata merekapun banyak berlatih. Seperti halnya jenis keterampilan yang lain pemerolehannya harus melalui belajar dan berlatih. Makin sering belajar dan makin giat berlatih, tentu makin cepat terampil.
Sebelum sampai pada proses kreatif penciptaan yang bersifat individual, kita akan bersama-sama mencoba melatih imajinasi dan daya kreatif kita dengan mengikuti daya kreatif berikut: (a) mendeskripsikan objek konkret secara emotif, (b) mengurai nama diri, (c) menulis puisi berdasarkan tokoh dalam sejarah, mitologi, atau karya sastra, (d) mengkonkretkan puisi dengan bantuan gambar, (e) menlis puisi berdasarkan pengalaman diri (Mulyana, Yoyo dkk, 1997:19-31).
Latihan menulis puisi tidak hanya mempertajam pengamatan dan peningkatan kemampuan bahasa. Karena alasan lain, dengan latihan penulisan puisi siswa diharapkan memperoleh minat segar yang muncul dari kedalaman puisi itu sendiri (Rahmanto, 1998:118).
 Menurut Wiyanto (2005), menulis puisi sebenarnya mengungkapkan gagasan dalam bentuk puisi. Gagasan itu dilandasi oleh tema tertentu. Oleh karena itu, sebelum menulis sebuah puisi lebih dahulu kita harus menentukan temanya, yaitu pokok persoalan yang akan kita kemukakan dalam bentuk puisi. Tema itu kemudian kita kembangkan dengan menentukan hal-hal apa yang akan dikemukakan dalam puisi. Dalam menulis puisi, kita harus memilih kata-kata yang tepat, bukan hanya tepat maknanya, melainkan juga harus tepat bunyi-bunyinya dan menyusun kata-kata itu demikian rupa sehingga menimbulkan kesan estetis. Selain itu, kita juga harus mendayagunakan majas agar puisi yang kita buat semakin baik.
 Menurut Jabrohim dkk (2003), proses kreatif bermula dari pemanfaatan fakta-fakta empirik sebagai moment estetik, sebagai sentuhan estetik. Fakta-fakta empirik itu kemudian dikembangkan dalam puisi. Cara efektif dalam pengembangan puisi ialah
a) Menemukan Diksi
Diksi atau pilihan kata mempunyai peranan penting dan utama untuk mencapai keefektifan dalam penulisan suatu karya sastra

b) Mengembangkan diksi dalam pengimajian
Imaji berperan untuk mengintensifkan, menjernihkan, dan memperkaya pikiran
c) Mengembangkan pengimajian dalam kata konkret
Pengokonkretan kata-kata berfungsi agar pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair
d) Mengembangkan bahasa figurati
Bahasa figuratif pada dasarnya adalah bentuk penyimpangan dari bahasa normatif, baik dari segi makna maupun rangkaian kata, dan bertujuan untuk mencapai arti dan efek tertentu
e) Memperbaiki bahasa-bahasa figuratif sesuai versifikasi
Versifikasi meliputi pengembangan ritma, rima, dan metrum. 
f) Penyusunan puisi dalam tipografi tertentu
Tipografi dilakukan dalam penulisan puisi berfungsi sebagai pembeda yang paling awal antara puisi dengan karya sastra yang lain.
g) Sarana retorika
Seorang penulis puisi harus memiliki gaya yang khas miliknya sendiri, agar puisi yang ia buat dikenal sebagai gaya khas miliknya.
 Menulis puisi merupakan mkegiatan produktif yang lahir dari ekspresi pribadi. Kepandaian menulis puisi bergantung pada pengalaman menulis puisi. Menurut Tjahjono (2002:35), sesungguhnya tidak ada resep pembuatan atau teori penyusunan puisi. Seandainya ada, justru akan membelenggu. Walaupun tidak ada teori penciptaan puisi, namun ada dalam penyusunan puisi sebagai berikut
1. Bahan puisi
 Bahan puisi adalah realitas kehidupan, pengalaman sehari-hari. Puisi dapat dimulai dari manapun misalnya, tema. Langkah pertama menghidupkan tema yang abstrak ke dalam luar peristiwa.
2. Bahasa puisi
 Pilihan kata harus padat dan cermat dengan menggunakan gaya bahasa yang sesuai dan berirama. Irama terbentuk dari perulangan bunyi yang sama atau sedaerah artikulasi.
3. Bentuk ekspresi
 Bentuk ekspresi menyangkut ciri visual puisi yang terbentuk oleh larik dan bait. Pada umumnya tiap satu bait mengandung satu pokok pikiran. Pemenggal;an larik harus cermat untuk menonjolkan makna.
4. Pengembangan bahan
 Puisi tidak sekadar melukiskan apa yang diamati, tetapi juga harus memberikan kritik, pemikiran, dan sebagainya.
5. Publikasi puisi
 Puisi diciptakaN tidak hanya untuk dibaca sendiri oleh penyairnya. Ada beberapa cara untuk mempublikasikan puisi antara lain dengan cara mengirimkan puisi ke koran-koran atau majalah. Membuat kliping, dan sebagainya. Aktivitas penting yang seharusnya dilakukan sebelum mempubliksikan puisi yaitu mendiskusikan karya kita dengan teman-teman yang lain.

PUISI

 Banyak sastrawan atau pengkaji puisi merumuskan tentang pengertian puisi. Dan tak jarang puisi menurut masing-masing orang yang telah mengartikannya tersebut memiliki perbedaan yang beragam. Puisi menurut Waluyo (2005:1) ialah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif).
 Secara etimologis puisi berasal dari bahasa Yunani poeima yang berarti membuat, poeisis yang berarti pembuatan atau poeities yang berarti pembuat, membangun, atau membentuk. Di Inggreis, puisi itu disebut poem dan poetry yang tidak jauh berbeda dengan to make atau to create, sehingga pernah lama sekali di Inggris puisi itu disebut maker (Tjahjono, 1988:4).
 Menurut Tjahjono (1988:9), puisi merupakan ungkapan pikir dan rasa yang padat dan berirama, dalam bentuk larik dan bait dengan memakai bahasa indah dalam koridor estetik.
 Menurut Altenbernd (dalam Pradopo, 2005:5-6) puisi ialah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum) (as the interpretive dramatization of experience in metrical language).

1 Ciri Puisi
Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun jumlah baris serta ditandai oleh bahasa yang padat. Menurut Waluyo (2005:2-17), ciri-ciri puisi ditinjau dari unsur kebahasaannya ialah
a) Pemadatan Bahasa
Bahasa dipadatkan agar berkekuatan gaib. Jika puisi itu dibaca deretan kata-kata tidak membentuk kalimat dan alinea, tetapi membentuk larik dan bait yang sama sekali berbeda hakikatnya.
b) Pemilihan Kata Khas
Kata-kata yang dipilih penyair dipertimbangkan betul dari berbagai aspek dan efek pengucapannya. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam memilih kata ialah makna kias, lambang, dan persamaan bunyi atau rima.
Menurut Keraf (2007:24) pilihan kata atau diksi memiliki tiga cakupan, yaitu: (i) pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. (II) pilihan kata atau diksi adalh kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. (III) pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa.
c) Kata Konkret
Penyair ingin menggambarkan sesuatu secara lebih konkret. Menurut Jabrohim, dkk (2003:36), istilah citra atau imaji ialah gambaran-gambaran angan, gambaran pikiran, kesan mental atau bayangan visual dan bahasa yang menggambarkannya.
d) Pengimajian
Pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau memperkonkret apa yang dinyatakan oleh penyair.
e) Irama (ritme)
Irama (ritme) berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Dalam puisi (khususnya puisi lama), irama berupa pengulangan yang teratur suatu baris puisi menimbilkan gelombang yang menciptakan keindahan. Irama dapat juga berarti pergantian keras-lembut, tinggi-rendah, atau panjang-pendek kata secara berulang-ulang dengan tujuan menciptakan gelombang yang memperindah puisi.
f) Tata Wajah
Dalam puisi mutakhir (setelah tahun 1976), banyak ditulis puisi yang mementingkan tata wajah, bahkan penyair berusaha menciptakan puisi seperti gambar.

2 Ragam Puisi
 Menurut Aminudin (2000:134), ditinjau dari bentuk maupun isinya, ragam puisi itu bermacam-macam. Ragam puisi itu sedikitnya akan dibedakan antara lain:
1) Puisi Epik, yaitu suatu suatu puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik kepahlawan yang berhubungan dengan legenda, kepercayaan, maupun sejarah.
2) Puisi Naratif, yaitu puisi yang di dalamnya mengandung suatu cerita, dengan pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita.
3) Puisi Lirik, yaitu puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman, sikap, maupun suasana batin yang melingkupinya.
4) Puisi Dramatik, yaitu puisi yang secara objektif menggambarka perilaku seseorang, baik lewat lakuan, dialog, maupun monolog sehingga mengandung gambaran suatu kisah tertentu.
5) Puisi Didaktik, yaitu puisi yang mengandung nilai-nilai kependidikan yang umumnya tertam[il eksplisit.
6) Puisi Satirik, yaitu puisi yang menganding sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat.
7) Romance, yaitu puisi yang berisi luapan rasa cinta seseorang terhadap sang kekasih.
8) Elegi, yaiu puisi ratapan yang mengungkapkan rasa pedih seseorang.
9) Ode, yaitu puisi yang berisi pujian terhadap seseorang yang memiliki jasa ataupun sikap kepahlawaanan.
10) Himne, yaitu puisi yang berisi pujian kepada Tuhan maupun ungkapan rasa cinta terhadap bangsa maupun tanah air.

SASTRA SEHARUSNYA TAK LAGI SEBELAH MATA DI MATA KTSP

PENDAHULUAN
 Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, pada rentang waktu tahun 1945-1949 dikeluarkan Kurikulum 1947 dengan istilah Rencana Pelajaran 1947, kurikulum pertama masa kemerdekaan, istilahnya leer plan (bhs. Belanda), rencana pelajaran ini lebih populer dibanding dengan istilah curriculum (bhs. Inggris)
Tahun 1950-1961, ditetapkan Kurikulum 1952 dengan istilah Rencana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum tahun 1952 ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut rencana pelajaran terurai ”silabus mata pelajarannya jelas sekali”. Tetapi dipenghujung masa kekuasan Soekarna, muncul rencana kurikulum 1964 dengan fokus pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana)
Masa Orde Baru lahir empat kurikulum, yaitu Kurikulum 1968, 1975, 1984, dan 1994. Kurikulum 1968 lebih bersifat politis, tujuannya lebih pada upaya mengganti rencana pendidikan 1964. kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat “hanya memuat mata pelelajaran pokok-pokok saja” muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tdk mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Kurikulum 1975, pendekatan kurikulum ini menekankan pada tujuan. Maksudnya agar pendidikan lebih efisien dan efektif. Tetapi realitanya kurikulum ini banyak menuai kritik karena Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yg akan dicapai dari setiap kegitan Pembelajaran.(setiap pelelajaran dijabarkan ke dalam tujuan kurikuler, setiap pokok bahasan diurai menjadi TIU, dari TIU dijabarkan menjadi sejumlah TIK.
Selanjutnya Kurikulum 1984, dimana kurikulum ini mengutamakan pendekatan proses, posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Model ini terkenal dengan istilah CBSA – tetapi dalam prakteknya justru banyak yang salah mengartikan (Guru banyak santai). Dan yang terakhir di era orde baru adalah Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, kurikulum ini bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Jiwa kurikulum ini ingin mengkombinasikan antara kurikulum 1975 dgn 1984, antara pendekatan tujuan dengan proses. Namun dalam perjalanannya keinginan untuk mengkombinasikan antara tujuan dan proses ini justru menyebabkan beban siswa menjadi terlalu berat (dari muatan nasional hingga lokal) 
Pada era reformasi muncul Kurikulum 2004 yang dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang pada tahun 2006 dilengkapi dengan Standar Isi dan Standar Kelulusan yang memandu sekolah dalam menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).(http//Prayanta’s Site. KTSP Sebagai Kuriulum Kerakyatan)
Dengan berubahnya kurikulum pada pendidikan kita, secara otomatis merubah pula system pendidikan yang kita lakukan. Hal yang serupa juga terjadi pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, dalam perjalanannya pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia juga mengalami perubahan. Pembelajaran yang dahulu hanya menitik beratkan pada kemampuan dalam bidang kognitif saja, namun saat ini sudah berubah ke arah yang lebih baik dengan menitik beratkan tidak hanya pada kognitif saja namun juga pada aspek afektif dan psikomotornya.
Pembelajaran sastra di Indonesia ternyata tidak pernah lepas dari berbagai persoalan, baik yang berkaitan dengan keberadaannya di sekolah—yang menyatu dengan pembelajaran bahasa Indonesia—, materi, bahan ajar penunjang, sampai metode serta cara penyampaiannya. Berbagai diskusi dan kajian telah diadakan untuk memecahkan masalah tersebut, namun masalah pun tak kunjung habis.(http//Wiyatmi_full_paper-pemb_jenderhiski.pdf. Menggagas Pembelajaran Sastra Berperspektif Jender)
Jika dilihat dari perjalanan kurikulum kita yang sudah mengalami banyak perubahan serta telah berjalan begitu lama, seharusnya tidak ada hal yang tertinggal atau kurang diperhatikan oleh pendidikan kita. Dengan kata lain seharusnya semua aspek yang harusnya ada sudah tercakup dalam pendidikan kita. Namun ternyata tidak demikian halnya dengan bidang sastra dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, bidang yang paling dominan ialah bidang berbahasa, sedangkan bidang sastra hanya mendapatkan porsi yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan bidang bahasa.
Pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan bagi pendidikan dan masyarakat jiak cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu; membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembambangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.
Bidang sastra dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia membutuhkan waktu yang lebih banyak harusnya dibandingkan waktu yang saat ini telah disediakan oleh lembaga pendidikan kita. Sebab sastra merupakan bidang yang membutuhkan banyak sekali keterampilan. Tidak hanya perlu tau tentang ilmunya, namun juga perlu dapat mempraktikan secara langsung. Namun dengan adanya waktu yang singkat bagaimana guru dapat menyiapkan siswanya menguasai bidang sastra?
Sepertinyapun tidak hanya waktu singkat yang menjadi alasan sastra tidak mendapat tempat dalam pembelajaran, guru yang hanya menitik beratkan pembelajaran pada bidang bahasa saja itupun juga turut andil dalam membentuk sastra terpinggirkan.
Hal di ataslah yang melatarbelakangi penulis menulis tentang Kelemahan KTSP di Bidang Sastra. Sebab selama ini sastra selalu mendapat porsi yang tidak memadai bila dibandingkan dengan bidang bahasa. Sastra seakan menjadi anak tiri pendidikan. Sudah saatnya Sastra Seharusnya Tak Lagi Sebelah Mata di Mata KTSP.

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
2.1.1 pengertian KTSP

 Kurikulum adalah program dan isi dari suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan proses akumulasi ilmu pengetahuan antargenerasi dalam suatu masyarakat. Dalam sebuah masyarakat yang homogen, masalah kurikulum tidak terlalu merisaukan. Namun dilihat dari konteks masyarakat yang plural/majemuk seperti Indonesia, kurikulum adalah pertarungan antar kekuasaan yang hidup dalam suatu masyarakat. Kelompok masyarakat yang dominan akan mempertahankan kurikulum untuk mempertahankan dominasinya melalui sistem persekolahan. 
Sebelum diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pendidikan di Indonesia menggunakan satu kurikulum, yaitu Kurikulum Nasional (sentralistik) yang dipakai sebagai acuan tunggal. Semua lembaga pendidikan formal di negeri ini, baik di kota besar, pelosok gunung, maupun di pinggiran pantai, punya kurikulum sama. Sehingga dengan demikian, proses pendidikan yang diterapkan adalah dalam upaya membentuk keseragaman berpikir. Melalui proses pendidikan nasional, generasi muda Indonesia dibentuk oleh sistem pendidikan yang mengacu kepada politik etatisme. Munculnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tampaknya menunjukkan bahwa politik kebijakan pemerintah dalam pengembangan dan operasionalisasi kurikulum mulai desentralistis, akomodatif, dan terbuka. Meskipun demikian, efektivitas perubahan politik kebijakan tersebut dalam menjawab problem fungsional kurikulum masih harus dibuktikan. 
Melalui kebijakan KTSP, sekolah-sekolah diberi kebebasan menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan konteks lokal, kemampuan siswa, dan ketersediaan sarana-prasarana. Kebebasan semacam itu tentu dilatari semangat pembaruan dalam bidang pendidikan yang selama ini diidamkan. 
KTSP ialah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (sekolah/madrasah). Sedangkan pemerintah pusat hanya memberi rambu-rambu yang perlu dirujuk dalam pengembangan KTSP, yaitu: (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; (3) Peraturan Menteri Pendidikan Nasinal Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; (4) Peraturan Menteri Pendidikan Nasinal Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; (5) Peraturan Menteri Pendidikan Nasinal Nomor 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan dari kedua Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut; dan (6) Panduan dari BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).( Muhaimin, dkk. 2008)
Sesungguhnya KTSP bukanlah hal yang benar-benar baru bagi dunia pendidikan di Indonesia. KTSP hanyalah penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya yang telah berlaku di Indonesia. Kompetensi-Kompetensi yang terdapat dalam KTSP sesungguhnyapun ada dalam KBK (2004) namun jika dalam KBK hanya menitikberatkan pada ketercapaian kompetensi tanpa memandang siapa yang menggunakan kompetensi itu, sedikit berbeda dengan KTSp. KTSP memikirkan juga siapa yang menggunakan kompetensi itu sehingga yang paling tahulah yang seharusnya merencanakan yang terbaik untuk para siswa—yaitu sekolah yang bersangkutan. Maka dari itu KTSP disusun oleh sekolah yang bersangkutan dan diterapkan pula pada sekolah yang bersangkutan.
Dengan demikian, ide dasar KTSP ialah mengembangkan pendidikan yang demokratis dan nonmonopolistik dengan cara memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah/madrasah yang mengembangkan kurikulum, karena masing-masing sekolah/madrasah dipandang lebih tahu tentang kondisi satuan pendidikan. 
2.1.2 pengembangan KTSP
 Pengembangan KTSP pada dasarnya merupakan operwujudan dari otonomi sekolah, yang dalam pengembangannya masih tetap menggunakan pendekatan KBK dalam standar Isi dan dalam prosesnya mengintegrasikan dengan kebutuhan pengembangan potensi peserta didik secara utuh serta tuntutan kondisi lingkungan peserta didik untuk hidup atau memiliki kecakapan hidup (life skill). Pendidikan kecakapan hidup ialah suatu keniscayaan dalam menghantarkan peserta didik untuk dapat hidup cerdas pada jamannya.
 Pengembangan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skill) atau disingkat KBL lebih menekankan pada penyiapan peserta didik yang beragam untuk cerdas hidup. Sedangkan KBK menekankan pada penyiapan peserta didik untuk cerdas kerja sesuai standar keilmuan, keterampilan, sikap, dan nilai. Perbedaan kedua pendekatan tersebut (KBK dan KBL) antara lain dapat dilihat pada tabel berikut:
Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) Kurikulum Berbasis
Life Skill (KBL)
1. cerdas kerja
2. standar
3. keputusan hierarkis
4. kebutuhan pasar kerja
5. sentralistis
6. menejemen peningkatan mutu berbasis pasar kerja atau pemerintah
7. techer centered
8. evaluasi sistemik
9. ujian standar nasional
10. keseragaman (behavioristik) 1. cerdas hidup
2. bebas standar
3. keputusan dari bawah
4. kebutuhan peserta didik
5. desentralistik
6. menejemen peningkatan mutu berbasis sekolah
7. learner cetered
8. evaluasi diri (portofolio)
9. ujian sekolah
10. keragaman (konstruktifistik)
(Muhaimin, dkk. 2008)
2.2 sastra
2.2.1 definisi sastra

 Sastra merupakan istilah yang mempunyai arti luas, meliputi sejumlah kegiatan yang berbeda-beda. Beberapa pengertian tentang sastra sangatlah beragam, walaupun keragaman tersebut cenderung bersifat saling melangkapi. Beberapa pengertian tersebut terinci sebagai berikut. Sastra adalah bahasa. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa (pikiran: ide, gagasan, pandangan, pemikiran dari semua kegiatan mental manusia). Sastra adalah insperasi kehidupan yang dimaterikan dalam bentuk keindahan. Sastra adalah semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang mendalam dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan pandangan, dan bentuk yang mempesona.
 Ada dua pengertian sastra yang dapat digunakan sebagai pijakan kokoh untuk memahami apa yang dimaksud dengan sastra. Pertama, sastra ialah ekspresi pikiran dan perasaan manusia, baik lisan maupun tulis, dengan menggunakan bahasa yang indah menurut konteksnya (hutomo, 1989). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa ada tiga hal yang penting yang menunjukkan ciri khas sastra, yaitu; sastra adalah ekspresi pikiran dan perasaan manusia; bentuk lusan dan tulis; serta penggunaan bahasa yang indah menurut konteksnya. Kedua, pengertian sastra yang mendasarkan diri pada hubungan pengarang dengan teks, kenyataan dengan teks, dan teks dengan pembaca (c.f. Luxemburg, 1989). 
 Berdasar atas berbagai pengertian tersebut dapat ditarik benang merah tentang pengertian sastra yang fungsional, yaitu; sastra ialah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (najid, 2003). 
2.2.2 sastra dalam pembelajaran
 Kita sering berusaha memikirkan tentang berbagai kebutuhan yang dapat dipenuhi dengan pendidikan di negara-negara berkembang. Apabila karya-karya sastra dianggap tidak berguna, tidak bermanfaat lagi untuk menafsirkan masalah-masalah dunia nyata, maka tentu saja pembelajaran sastra tidak akan ada gunanya lagi untuk diadakan. Namun, jika dapat ditunjukkan bahwa sastra itu memiliki relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pembelajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting yang patut menduduki tempat yang selayaknya (Rahmanto, 1996).
 Jika pembelajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pembelajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat. Masalah yang kita hadapi sekarang ialah menentukan bagaimana pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksmal untuk dunia pendidikan dan masyarakat pada umumnya. 
 Pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan bagi pendidikan dan masyarakat jika cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu; membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembambangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.


PEMBAHASAN
3.1 waktu yang tidak memenuhi
Sastra, tidak seperti halnya ilmu kimia atau sejarah, tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan sesuatu dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati akan benar-benar menambah pengetahuan orang yang menghayatinya.(Rahmanto R. 1996)
Yang dimaksud pengetahuan dalam hal ini mengandung suatu pengertian yang luas. Dengan bernagai cara kita dapat menguraikan dan mencerap pengetahuan semacam itu dalam karya sastra. Sebagai contoh, banyak fakta yang diungkapkan dalam karya sastra, tetapi masih banyak fakta-fakta yang harus kita gali dari sumber-sumber lain untuk memahami situasi dan problematika yang dihadirkan dalam suatu karya sastra.
Dalam melaksanakan pembelajaran sastra, kita tidak boleh berhenti pada penguraian keterampilan ataupun pengetahuan. Sehingga kecakapan-kecakapan yang dimiliki siswa—yang memiliki kecakapan yang beraneka ragam—mampu dikembangkan secara optimal dan harmonis agar siswa dapat menyadari potensinya dan dapat mengabdikan diri bagi kepentingan-kepentingan generasinya.
Dari uraian di atas sudah jelas bahwa pembelajaran sastra membutuhkan waktu yang cukup banyak agar siswa mampu menguasai sastra tidak hanya pada ilmunya, melainkan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya. Kurikulum kita yang menjadi patokan pengembangan pendidikan di setiap sekolah harusnya mampu melihat hal tersebut dengan baik. Namun hal berbeda terjadi pada kurikulum kita. Pembelajaran sastra yang harusnya mendapat sorota yang sama dengan pembelajaran di bidang lain justru tidak terjadi. Sastra masih dianggap sebagai pelangkap bidangan kebahasaan saja.
Bukti nyata dari hal itu terlihat dalam jumlah kompetensi dasar yang mencerminkan bidang sastra. Berikut merupakan salah satu contoh standar kompetensi dan kompetensi dasar pada tingkat SMA kelas XI semester I




Tabel standar kompetensi dan kompetensi dasar SMA kelas XI semester I
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
 
Mendengarkan
1. Memahami berbagai informasi dari amanat dan wawancara. 
1.1 Menemukan pokok-pokok isi sambutan/ khotbah yang didengar
1.2 Merangkum isi pembicaraan dalam wawancara
Berbicara
2. Mengungkapkan secara lisan informasi membaca dan wawancara. 
2.1 Menjelaskan secara lisan uraian topik tertentu dari hasil membaca (artikel atau buku)
2.2 Menjelaskan hasil wawancara tentang tanggapan nara sumber terhadap topik tertentu
Membaca
3. Memahami ragam wacana tulis dengan membaca intensif dan membaca nyaring. 
3.1 Menemukan perbedaan paragraf induktif dan deduktif melalui kegiatan membaca intensif.
3.2 Membacakan berita televisi dengan intonasi dan lafal yang baik.
Menulis
4. Mengungkapkan informasi dalam bentuk proposal, surat dagang, karangan ilmiah. 
4.1 Menuulis proposal untuk berbagai keperluan
4.2 Menulis surat dagang dan surat kuasa.
4.3 Melengkapi karya tulis dengan daftar pustaka dan catatan kaki.
Mendengarkan
5. Memahami pementasan drama 
5.1 mengidentifikasi peristiwa, pelaku, dan konflik pada pementasan drama
5.2 menganalisis pementasan drama berdasarkan teknik pementasan
Berbicara
6. memerankan tokoh dalam pementasan drama 
6.1 menyampaikan dialog disertai gerak-gerik dan mimik, sesuai dengan watak tokoh
6.2 mengekspresikan perilaku dan dialog tokoh protagonis dan atau antagonis
Membaca
7. memmahami berbagai hikayat dan novel Indonesia/ novel terjemahan. 
7.1 menemukan unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik hikayat.
7.2 menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik novel indonesia/ terjemehan
Menulis
8. mengungkapkan informasi melalui penulisan resensi 
8.1 mengungkapkan prisip-prinsip penulisan resensi
8.2 mengaplikasikan prinsip-prinsip penulisan resensi.

Dari tabel di atas dapat kita amati bahwa, dari tujuh belas kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa, sastra hanya mendapatkan tempat enam kompetensi dasar. Bila ditinjau dari waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kompetensi-kompetensi itu dapat kita lihat dari tebel berikut.
Tabel struktur kurikulum mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)
Mata
pelajaran Kelas dan alokasi waktu
 Kelas X Kelas XI Kelas XII
 Smt I Smt II Smt I Smt II Smt I Smt II
Bahasa Indonesia 4 4 4 4 4 4

Berdasarkan tebel di atas dapat kita hitung berapa alokasi waktu yang diberikan untuk bidang sastra dalam setiap jenjang pendidikan dalam satu semester. Dalam satu semester, siswa mendapat pembelajaran dalam ± 20 minggu. Jika dalam setiap minggu bahasa dan sastra Indonesia mendapat 4 x 45 menit, maka waktu yang diperoleh dalam setiap semester ialah 80 jam pertemuan. Jika tiap tatap muka ialah 2 jam pertemuan maka bahasa dan sastra Indonesia memiliki 40 kali tatap muka. Dan setiap kompetensi dasar memiliki jatah ± 2-3 kali tatap muka.lantas sastra hanya mendapat jatah waktu 12-18 kali tatp muka. Bagaimana siswa dapat mengasilkan kemampuan yang maksimal?
3.2 sastra dan guru 
Sejak tahun 1950 itu kurikulum telah mengalami perubahan pada tahun-tahun 1958, 1964, 1968, 1975/1976, dan 1984 untuk SMA, sementara pada tahun 1987 perubahan terjadi pada kurikulum untuk SMP. Sejak awal, bidang studi sastra Indonesia terintegrasi dalam bidang studi bahasa Indonesia, sampai kurikulum 1975/1976. Baru pada kurikulum 1984—khususnya untuk SMA—nama bidang studi ini berubah menjadi Bahasa dan Sastra Indonesia dalam program inti, serta Sastra Indonesia dikhususkan untuk program pilihan Pengetahuan Budaya. Namun dalam kenyataannya, pengajaran sastra di SMP maupun SMA bukan berupa program pengetahuan budaya. Sastra Indonesia hanya semata-mata menumpang pada pengajaran bahasa Indonesia dan diberikan hanya selama 2-3 jam per minggu.(http//Johnherf.word press.com. Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah)
Pengajaran sastra di sini lebih banyak kegiatannya untuk mempelajari ragam bahasa, di sisi-sisi ragam bahasa lainnya. Hal ini terlihat bahwa pembobotan beban materinya hanya seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata pelajaran Bahasa Indonesia, dengan nama pokok bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan pemberian nama ini sudah terlihat terjadinya penyempitan kedudukan sastra.
Sementara itu, meskipun pada kurikulum 1994 masih juga terasa adanya upaya mengintegralkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kurikulum 1994 memberi penekanan akan pentingnya membaca secara langsung karya-karya sastra, dan bukan sekadar membaca ringkasan atau sinosipnya. Namun demikian, di dalam praktiknya, pembelajaran sastra ibarat anak tiri yang hampir-hampir tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari para guru. Para guru yang mengajar sastra hampir selalu merupakan juga guru yang mengajar bahasa.
Hal semacam ini sebenarnya tidak menjadi masalah sekiranya para guru itu juga mempunyai perhatian yang sama besarnya; namun kenyataan cenderung mampu membuktikan bahwa umumnya para guru itu sekadar menyambi saja tugas sebagai pengajar sastra. Kendati demikian, jika diamati secara saksama, realitas yang semacam ini bukan sepenuhnya kesalahan para guru melainkan kesalahan paradigma pengajaran maupun pembelajaran bahasa dan sastra yang pernah diterima oleh para guru itu ketika mereka masih dalam pendidikan.
  Faktor yang ikut memperparah tidak signifikannya atau bahkan gagalnya pengajaran maupun pembelajaran sastra di sekolah adalah pada guru itu sendiri. Bukan suatu rahasia lagi bahwa sebagian besar guru sastra adalah guru bahasa yang lebih memberikan perhatian kepada permasalahan bahasa, utamanya pada masalah-masalah teknis. Oleh karena itu, jika pengajaran sastra berada dalam posisi terpuruk, bukan sesuatu yang perlu diherankan. Namun permasalahannya tentu bukan hanya pada “keheranan” atau tidaknya, melainkan pada apa upaya atau langkah-langkah yang dapat dijalankan untuk memperbaiki kenyataan yang sedemikian itu.
3.3 solusi sastra dalam KTSP
Setiap permasalahn yang datang dalam kehidupan ini tidak mungkin tanpa ada formula yang bisa digunakan untuk menyelesaikannya. Begitu pula dengan masalah sastra dalam KTSP ini, pasti ada hal yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki mutu pendidikan kita.
Solusi untuk masalah waktu yang kurang dalam pembelajaran sastra ialah sebagai berikut:
• KTSP merupakan kurikulum yang memberikan kewenangan penuh kepada sekolah khususnya guru yang melaksanakan pembelajaran untuk melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswanya. Maka dari itu kurikulum bukanlah kitab suci yang tidak boleh dirubah sesuai dengan kebutuhan. Jika guru menginginkan perubahab pada kompetensi yang ada, maka guru boleh mengubah kompetensi-kompetensi yang dirasa perlu digunakan dalam pembelajaran.
• Waktu untuk belajar tidak hanya ketika waktu yang sudah dicanangkan (jam pelajaran formal), sehingga guru dapat menyiasati waktu pembelajaran yang dirasa kurang denganmenggunakan waktu di luar jam pelajaran formal. Misalnya saja guru dapat memasukkan bidang sastra pada kegiatan ekstrakurikuler.
• Yang membuat kurikulum haruslah orang yang kompeten dalam bidangnya. Jika seorang pembuat kurikulum tidak memahami bidang itu, maka yang terjadi ialah tidak sempurnanya kurikulum yang dihasilkan. Seperti halnya dengan kurikulum dalam bahasa dan sastra Indonesia, jika yang membuat tidak mengerti tentang bahasa dan sastra Indonesia, maka yang terjadi ialah dunia pendidikan kita saat ini. Sastra menjadi terabaikan.
 Sedangkan solusi untuk masalah guru dalam pembelajaran sastra ialah sebagai berikut:
• Seorang guru bahasa dan sastra Indonesia, seharusnya memiliki perhatian yang sama dalam membelajarkan siswanya, baik itu sastra maupun bahasa. Jika setiap guru bahasa dan sastra Indonesia memiliki perhatian yang sama, maka ketimpangan sastra dalam dunia pendidikan tidak akan terjadi hingga berlarut-larut. Maka dari itu dibutuhkan kesadaran guru bahasa dan sastra Indonesia untuk memperhatikan sastra serupa ia memperhatikan bahasa.
• Dalam pendidikannya, guru bahasa dan sastra Indonesia harus dibekali kemampuan yang cukup dalam bidang sastra, sehingga tidak ada keraguan guru untuk membelajarkan sastra kepada siswa-siswanya.
• Seorang guru seharusnya mampu untuk memberiakan dorongan terhadap siswanya agar mau mempelajari sastra, sehingga di mata siswa sastra bukanlah hal yang menjemukan atau hal yang menakutkan. Seorang guru harus mampu menjadi motivator bagi diri sendiri serta untuk siswa-siswanya. 


SIMPULAN
 Berdasarkan uraian di atas, hal yang dapat kita simpulkan ialah sebagai berikut:
• Sastra seharusnya memiliki hak yang sama dengan bidang-bidang pembelajaran yang lain, sebab sastra juga memiliki peran penting dalam pembentukan watak bangsa.
• Seorang pembuat kurikulum harusnya mengerti tentang dunia pendidikan. Jika pembuat kurikulum tidak mengerti tentang bahasa dan sastra, maka kurikulum yang dihasilkanpun tidak akan mampu digunakan secara maksimal.
• Waktu yang singkat dalam pembalajaran formal bukanlah hambatan yang kemudian hanya mampu disesali guru dan pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan, sebab kurikulum KTSP memberikan kebebasan yang luas untuk guru yang ingin mengembangkan potensi siswanya.
• Seorang guru tidak harus diam dan menyerah pada keadaan siswa dan dunia pendidikan, namun seorang guru juga harus memiliki kecakapan yang baik untuk mampu mengubah siswanya menjadi generasi yang dapat diandalkan oleh bangsa. Dan untuk mencapai hal itu guru harus memiliki inovasi yang hebat dalam membelajarkan sastra pada siswanya.
• Guru juga harus mampu menjadi motivator yang baik untuk memberikan motivasi pada siswanya agar menjadi manusia unggul yang dapat diandalkan.
 Demikian ialah sekilas tentang sastra dalam kurikulum yang tidak seimbang. Semoga dengan adanya ulasan ini, kita mampu memperbaiki hal-hal yang masih lemah dalam pendidikan kita. Tentunya semua masyarakat juga harus turut serta dalam mengubah paradigma pembelajaran kita Indonesia.

DAFTAR RUJUKAN
BSNP. 2006. Standar Isi. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.
http//Johnherf.word press.com. Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. Diakses 2 januari 2009
http//Prayanta’s Site. KTSP Sebagai Kuriulum Kerakyatan. Diakses 29 Desember 2008
http// Wiyatmi_full_paper-pemb_jenderhiski.pdf. Menggagas Pembelajaran Sastra Berperspektif Jender. Diakses 29 desember 2008 
Hutomo, Suripan Sadi. 1989. Mutiara yang Terlupakan. Surabaya: HISKI Jatim.
Luxemburg, Jan van. 1989. Tentang Sastra. Terjemahan Achadiati Ikram. Jakarta: Intermasa.
Muhaimin, dkk. 2008. Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press.
Rahmanto B. 1996. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.