Senin, 20 April 2009

SASTRA SEHARUSNYA TAK LAGI SEBELAH MATA DI MATA KTSP

PENDAHULUAN
 Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, pada rentang waktu tahun 1945-1949 dikeluarkan Kurikulum 1947 dengan istilah Rencana Pelajaran 1947, kurikulum pertama masa kemerdekaan, istilahnya leer plan (bhs. Belanda), rencana pelajaran ini lebih populer dibanding dengan istilah curriculum (bhs. Inggris)
Tahun 1950-1961, ditetapkan Kurikulum 1952 dengan istilah Rencana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum tahun 1952 ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut rencana pelajaran terurai ”silabus mata pelajarannya jelas sekali”. Tetapi dipenghujung masa kekuasan Soekarna, muncul rencana kurikulum 1964 dengan fokus pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana)
Masa Orde Baru lahir empat kurikulum, yaitu Kurikulum 1968, 1975, 1984, dan 1994. Kurikulum 1968 lebih bersifat politis, tujuannya lebih pada upaya mengganti rencana pendidikan 1964. kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat “hanya memuat mata pelelajaran pokok-pokok saja” muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tdk mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Kurikulum 1975, pendekatan kurikulum ini menekankan pada tujuan. Maksudnya agar pendidikan lebih efisien dan efektif. Tetapi realitanya kurikulum ini banyak menuai kritik karena Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yg akan dicapai dari setiap kegitan Pembelajaran.(setiap pelelajaran dijabarkan ke dalam tujuan kurikuler, setiap pokok bahasan diurai menjadi TIU, dari TIU dijabarkan menjadi sejumlah TIK.
Selanjutnya Kurikulum 1984, dimana kurikulum ini mengutamakan pendekatan proses, posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Model ini terkenal dengan istilah CBSA – tetapi dalam prakteknya justru banyak yang salah mengartikan (Guru banyak santai). Dan yang terakhir di era orde baru adalah Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, kurikulum ini bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Jiwa kurikulum ini ingin mengkombinasikan antara kurikulum 1975 dgn 1984, antara pendekatan tujuan dengan proses. Namun dalam perjalanannya keinginan untuk mengkombinasikan antara tujuan dan proses ini justru menyebabkan beban siswa menjadi terlalu berat (dari muatan nasional hingga lokal) 
Pada era reformasi muncul Kurikulum 2004 yang dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang pada tahun 2006 dilengkapi dengan Standar Isi dan Standar Kelulusan yang memandu sekolah dalam menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).(http//Prayanta’s Site. KTSP Sebagai Kuriulum Kerakyatan)
Dengan berubahnya kurikulum pada pendidikan kita, secara otomatis merubah pula system pendidikan yang kita lakukan. Hal yang serupa juga terjadi pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, dalam perjalanannya pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia juga mengalami perubahan. Pembelajaran yang dahulu hanya menitik beratkan pada kemampuan dalam bidang kognitif saja, namun saat ini sudah berubah ke arah yang lebih baik dengan menitik beratkan tidak hanya pada kognitif saja namun juga pada aspek afektif dan psikomotornya.
Pembelajaran sastra di Indonesia ternyata tidak pernah lepas dari berbagai persoalan, baik yang berkaitan dengan keberadaannya di sekolah—yang menyatu dengan pembelajaran bahasa Indonesia—, materi, bahan ajar penunjang, sampai metode serta cara penyampaiannya. Berbagai diskusi dan kajian telah diadakan untuk memecahkan masalah tersebut, namun masalah pun tak kunjung habis.(http//Wiyatmi_full_paper-pemb_jenderhiski.pdf. Menggagas Pembelajaran Sastra Berperspektif Jender)
Jika dilihat dari perjalanan kurikulum kita yang sudah mengalami banyak perubahan serta telah berjalan begitu lama, seharusnya tidak ada hal yang tertinggal atau kurang diperhatikan oleh pendidikan kita. Dengan kata lain seharusnya semua aspek yang harusnya ada sudah tercakup dalam pendidikan kita. Namun ternyata tidak demikian halnya dengan bidang sastra dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, bidang yang paling dominan ialah bidang berbahasa, sedangkan bidang sastra hanya mendapatkan porsi yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan bidang bahasa.
Pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan bagi pendidikan dan masyarakat jiak cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu; membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembambangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.
Bidang sastra dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia membutuhkan waktu yang lebih banyak harusnya dibandingkan waktu yang saat ini telah disediakan oleh lembaga pendidikan kita. Sebab sastra merupakan bidang yang membutuhkan banyak sekali keterampilan. Tidak hanya perlu tau tentang ilmunya, namun juga perlu dapat mempraktikan secara langsung. Namun dengan adanya waktu yang singkat bagaimana guru dapat menyiapkan siswanya menguasai bidang sastra?
Sepertinyapun tidak hanya waktu singkat yang menjadi alasan sastra tidak mendapat tempat dalam pembelajaran, guru yang hanya menitik beratkan pembelajaran pada bidang bahasa saja itupun juga turut andil dalam membentuk sastra terpinggirkan.
Hal di ataslah yang melatarbelakangi penulis menulis tentang Kelemahan KTSP di Bidang Sastra. Sebab selama ini sastra selalu mendapat porsi yang tidak memadai bila dibandingkan dengan bidang bahasa. Sastra seakan menjadi anak tiri pendidikan. Sudah saatnya Sastra Seharusnya Tak Lagi Sebelah Mata di Mata KTSP.

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
2.1.1 pengertian KTSP

 Kurikulum adalah program dan isi dari suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan proses akumulasi ilmu pengetahuan antargenerasi dalam suatu masyarakat. Dalam sebuah masyarakat yang homogen, masalah kurikulum tidak terlalu merisaukan. Namun dilihat dari konteks masyarakat yang plural/majemuk seperti Indonesia, kurikulum adalah pertarungan antar kekuasaan yang hidup dalam suatu masyarakat. Kelompok masyarakat yang dominan akan mempertahankan kurikulum untuk mempertahankan dominasinya melalui sistem persekolahan. 
Sebelum diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pendidikan di Indonesia menggunakan satu kurikulum, yaitu Kurikulum Nasional (sentralistik) yang dipakai sebagai acuan tunggal. Semua lembaga pendidikan formal di negeri ini, baik di kota besar, pelosok gunung, maupun di pinggiran pantai, punya kurikulum sama. Sehingga dengan demikian, proses pendidikan yang diterapkan adalah dalam upaya membentuk keseragaman berpikir. Melalui proses pendidikan nasional, generasi muda Indonesia dibentuk oleh sistem pendidikan yang mengacu kepada politik etatisme. Munculnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tampaknya menunjukkan bahwa politik kebijakan pemerintah dalam pengembangan dan operasionalisasi kurikulum mulai desentralistis, akomodatif, dan terbuka. Meskipun demikian, efektivitas perubahan politik kebijakan tersebut dalam menjawab problem fungsional kurikulum masih harus dibuktikan. 
Melalui kebijakan KTSP, sekolah-sekolah diberi kebebasan menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan konteks lokal, kemampuan siswa, dan ketersediaan sarana-prasarana. Kebebasan semacam itu tentu dilatari semangat pembaruan dalam bidang pendidikan yang selama ini diidamkan. 
KTSP ialah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (sekolah/madrasah). Sedangkan pemerintah pusat hanya memberi rambu-rambu yang perlu dirujuk dalam pengembangan KTSP, yaitu: (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; (3) Peraturan Menteri Pendidikan Nasinal Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; (4) Peraturan Menteri Pendidikan Nasinal Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; (5) Peraturan Menteri Pendidikan Nasinal Nomor 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan dari kedua Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut; dan (6) Panduan dari BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).( Muhaimin, dkk. 2008)
Sesungguhnya KTSP bukanlah hal yang benar-benar baru bagi dunia pendidikan di Indonesia. KTSP hanyalah penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya yang telah berlaku di Indonesia. Kompetensi-Kompetensi yang terdapat dalam KTSP sesungguhnyapun ada dalam KBK (2004) namun jika dalam KBK hanya menitikberatkan pada ketercapaian kompetensi tanpa memandang siapa yang menggunakan kompetensi itu, sedikit berbeda dengan KTSp. KTSP memikirkan juga siapa yang menggunakan kompetensi itu sehingga yang paling tahulah yang seharusnya merencanakan yang terbaik untuk para siswa—yaitu sekolah yang bersangkutan. Maka dari itu KTSP disusun oleh sekolah yang bersangkutan dan diterapkan pula pada sekolah yang bersangkutan.
Dengan demikian, ide dasar KTSP ialah mengembangkan pendidikan yang demokratis dan nonmonopolistik dengan cara memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah/madrasah yang mengembangkan kurikulum, karena masing-masing sekolah/madrasah dipandang lebih tahu tentang kondisi satuan pendidikan. 
2.1.2 pengembangan KTSP
 Pengembangan KTSP pada dasarnya merupakan operwujudan dari otonomi sekolah, yang dalam pengembangannya masih tetap menggunakan pendekatan KBK dalam standar Isi dan dalam prosesnya mengintegrasikan dengan kebutuhan pengembangan potensi peserta didik secara utuh serta tuntutan kondisi lingkungan peserta didik untuk hidup atau memiliki kecakapan hidup (life skill). Pendidikan kecakapan hidup ialah suatu keniscayaan dalam menghantarkan peserta didik untuk dapat hidup cerdas pada jamannya.
 Pengembangan kurikulum berbasis kecakapan hidup (life skill) atau disingkat KBL lebih menekankan pada penyiapan peserta didik yang beragam untuk cerdas hidup. Sedangkan KBK menekankan pada penyiapan peserta didik untuk cerdas kerja sesuai standar keilmuan, keterampilan, sikap, dan nilai. Perbedaan kedua pendekatan tersebut (KBK dan KBL) antara lain dapat dilihat pada tabel berikut:
Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) Kurikulum Berbasis
Life Skill (KBL)
1. cerdas kerja
2. standar
3. keputusan hierarkis
4. kebutuhan pasar kerja
5. sentralistis
6. menejemen peningkatan mutu berbasis pasar kerja atau pemerintah
7. techer centered
8. evaluasi sistemik
9. ujian standar nasional
10. keseragaman (behavioristik) 1. cerdas hidup
2. bebas standar
3. keputusan dari bawah
4. kebutuhan peserta didik
5. desentralistik
6. menejemen peningkatan mutu berbasis sekolah
7. learner cetered
8. evaluasi diri (portofolio)
9. ujian sekolah
10. keragaman (konstruktifistik)
(Muhaimin, dkk. 2008)
2.2 sastra
2.2.1 definisi sastra

 Sastra merupakan istilah yang mempunyai arti luas, meliputi sejumlah kegiatan yang berbeda-beda. Beberapa pengertian tentang sastra sangatlah beragam, walaupun keragaman tersebut cenderung bersifat saling melangkapi. Beberapa pengertian tersebut terinci sebagai berikut. Sastra adalah bahasa. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa (pikiran: ide, gagasan, pandangan, pemikiran dari semua kegiatan mental manusia). Sastra adalah insperasi kehidupan yang dimaterikan dalam bentuk keindahan. Sastra adalah semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang mendalam dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan pandangan, dan bentuk yang mempesona.
 Ada dua pengertian sastra yang dapat digunakan sebagai pijakan kokoh untuk memahami apa yang dimaksud dengan sastra. Pertama, sastra ialah ekspresi pikiran dan perasaan manusia, baik lisan maupun tulis, dengan menggunakan bahasa yang indah menurut konteksnya (hutomo, 1989). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa ada tiga hal yang penting yang menunjukkan ciri khas sastra, yaitu; sastra adalah ekspresi pikiran dan perasaan manusia; bentuk lusan dan tulis; serta penggunaan bahasa yang indah menurut konteksnya. Kedua, pengertian sastra yang mendasarkan diri pada hubungan pengarang dengan teks, kenyataan dengan teks, dan teks dengan pembaca (c.f. Luxemburg, 1989). 
 Berdasar atas berbagai pengertian tersebut dapat ditarik benang merah tentang pengertian sastra yang fungsional, yaitu; sastra ialah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (najid, 2003). 
2.2.2 sastra dalam pembelajaran
 Kita sering berusaha memikirkan tentang berbagai kebutuhan yang dapat dipenuhi dengan pendidikan di negara-negara berkembang. Apabila karya-karya sastra dianggap tidak berguna, tidak bermanfaat lagi untuk menafsirkan masalah-masalah dunia nyata, maka tentu saja pembelajaran sastra tidak akan ada gunanya lagi untuk diadakan. Namun, jika dapat ditunjukkan bahwa sastra itu memiliki relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pembelajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting yang patut menduduki tempat yang selayaknya (Rahmanto, 1996).
 Jika pembelajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pembelajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat. Masalah yang kita hadapi sekarang ialah menentukan bagaimana pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksmal untuk dunia pendidikan dan masyarakat pada umumnya. 
 Pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan bagi pendidikan dan masyarakat jika cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu; membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembambangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.


PEMBAHASAN
3.1 waktu yang tidak memenuhi
Sastra, tidak seperti halnya ilmu kimia atau sejarah, tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan sesuatu dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati akan benar-benar menambah pengetahuan orang yang menghayatinya.(Rahmanto R. 1996)
Yang dimaksud pengetahuan dalam hal ini mengandung suatu pengertian yang luas. Dengan bernagai cara kita dapat menguraikan dan mencerap pengetahuan semacam itu dalam karya sastra. Sebagai contoh, banyak fakta yang diungkapkan dalam karya sastra, tetapi masih banyak fakta-fakta yang harus kita gali dari sumber-sumber lain untuk memahami situasi dan problematika yang dihadirkan dalam suatu karya sastra.
Dalam melaksanakan pembelajaran sastra, kita tidak boleh berhenti pada penguraian keterampilan ataupun pengetahuan. Sehingga kecakapan-kecakapan yang dimiliki siswa—yang memiliki kecakapan yang beraneka ragam—mampu dikembangkan secara optimal dan harmonis agar siswa dapat menyadari potensinya dan dapat mengabdikan diri bagi kepentingan-kepentingan generasinya.
Dari uraian di atas sudah jelas bahwa pembelajaran sastra membutuhkan waktu yang cukup banyak agar siswa mampu menguasai sastra tidak hanya pada ilmunya, melainkan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya. Kurikulum kita yang menjadi patokan pengembangan pendidikan di setiap sekolah harusnya mampu melihat hal tersebut dengan baik. Namun hal berbeda terjadi pada kurikulum kita. Pembelajaran sastra yang harusnya mendapat sorota yang sama dengan pembelajaran di bidang lain justru tidak terjadi. Sastra masih dianggap sebagai pelangkap bidangan kebahasaan saja.
Bukti nyata dari hal itu terlihat dalam jumlah kompetensi dasar yang mencerminkan bidang sastra. Berikut merupakan salah satu contoh standar kompetensi dan kompetensi dasar pada tingkat SMA kelas XI semester I




Tabel standar kompetensi dan kompetensi dasar SMA kelas XI semester I
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
 
Mendengarkan
1. Memahami berbagai informasi dari amanat dan wawancara. 
1.1 Menemukan pokok-pokok isi sambutan/ khotbah yang didengar
1.2 Merangkum isi pembicaraan dalam wawancara
Berbicara
2. Mengungkapkan secara lisan informasi membaca dan wawancara. 
2.1 Menjelaskan secara lisan uraian topik tertentu dari hasil membaca (artikel atau buku)
2.2 Menjelaskan hasil wawancara tentang tanggapan nara sumber terhadap topik tertentu
Membaca
3. Memahami ragam wacana tulis dengan membaca intensif dan membaca nyaring. 
3.1 Menemukan perbedaan paragraf induktif dan deduktif melalui kegiatan membaca intensif.
3.2 Membacakan berita televisi dengan intonasi dan lafal yang baik.
Menulis
4. Mengungkapkan informasi dalam bentuk proposal, surat dagang, karangan ilmiah. 
4.1 Menuulis proposal untuk berbagai keperluan
4.2 Menulis surat dagang dan surat kuasa.
4.3 Melengkapi karya tulis dengan daftar pustaka dan catatan kaki.
Mendengarkan
5. Memahami pementasan drama 
5.1 mengidentifikasi peristiwa, pelaku, dan konflik pada pementasan drama
5.2 menganalisis pementasan drama berdasarkan teknik pementasan
Berbicara
6. memerankan tokoh dalam pementasan drama 
6.1 menyampaikan dialog disertai gerak-gerik dan mimik, sesuai dengan watak tokoh
6.2 mengekspresikan perilaku dan dialog tokoh protagonis dan atau antagonis
Membaca
7. memmahami berbagai hikayat dan novel Indonesia/ novel terjemahan. 
7.1 menemukan unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik hikayat.
7.2 menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik novel indonesia/ terjemehan
Menulis
8. mengungkapkan informasi melalui penulisan resensi 
8.1 mengungkapkan prisip-prinsip penulisan resensi
8.2 mengaplikasikan prinsip-prinsip penulisan resensi.

Dari tabel di atas dapat kita amati bahwa, dari tujuh belas kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa, sastra hanya mendapatkan tempat enam kompetensi dasar. Bila ditinjau dari waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kompetensi-kompetensi itu dapat kita lihat dari tebel berikut.
Tabel struktur kurikulum mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)
Mata
pelajaran Kelas dan alokasi waktu
 Kelas X Kelas XI Kelas XII
 Smt I Smt II Smt I Smt II Smt I Smt II
Bahasa Indonesia 4 4 4 4 4 4

Berdasarkan tebel di atas dapat kita hitung berapa alokasi waktu yang diberikan untuk bidang sastra dalam setiap jenjang pendidikan dalam satu semester. Dalam satu semester, siswa mendapat pembelajaran dalam ± 20 minggu. Jika dalam setiap minggu bahasa dan sastra Indonesia mendapat 4 x 45 menit, maka waktu yang diperoleh dalam setiap semester ialah 80 jam pertemuan. Jika tiap tatap muka ialah 2 jam pertemuan maka bahasa dan sastra Indonesia memiliki 40 kali tatap muka. Dan setiap kompetensi dasar memiliki jatah ± 2-3 kali tatap muka.lantas sastra hanya mendapat jatah waktu 12-18 kali tatp muka. Bagaimana siswa dapat mengasilkan kemampuan yang maksimal?
3.2 sastra dan guru 
Sejak tahun 1950 itu kurikulum telah mengalami perubahan pada tahun-tahun 1958, 1964, 1968, 1975/1976, dan 1984 untuk SMA, sementara pada tahun 1987 perubahan terjadi pada kurikulum untuk SMP. Sejak awal, bidang studi sastra Indonesia terintegrasi dalam bidang studi bahasa Indonesia, sampai kurikulum 1975/1976. Baru pada kurikulum 1984—khususnya untuk SMA—nama bidang studi ini berubah menjadi Bahasa dan Sastra Indonesia dalam program inti, serta Sastra Indonesia dikhususkan untuk program pilihan Pengetahuan Budaya. Namun dalam kenyataannya, pengajaran sastra di SMP maupun SMA bukan berupa program pengetahuan budaya. Sastra Indonesia hanya semata-mata menumpang pada pengajaran bahasa Indonesia dan diberikan hanya selama 2-3 jam per minggu.(http//Johnherf.word press.com. Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah)
Pengajaran sastra di sini lebih banyak kegiatannya untuk mempelajari ragam bahasa, di sisi-sisi ragam bahasa lainnya. Hal ini terlihat bahwa pembobotan beban materinya hanya seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata pelajaran Bahasa Indonesia, dengan nama pokok bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan pemberian nama ini sudah terlihat terjadinya penyempitan kedudukan sastra.
Sementara itu, meskipun pada kurikulum 1994 masih juga terasa adanya upaya mengintegralkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kurikulum 1994 memberi penekanan akan pentingnya membaca secara langsung karya-karya sastra, dan bukan sekadar membaca ringkasan atau sinosipnya. Namun demikian, di dalam praktiknya, pembelajaran sastra ibarat anak tiri yang hampir-hampir tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari para guru. Para guru yang mengajar sastra hampir selalu merupakan juga guru yang mengajar bahasa.
Hal semacam ini sebenarnya tidak menjadi masalah sekiranya para guru itu juga mempunyai perhatian yang sama besarnya; namun kenyataan cenderung mampu membuktikan bahwa umumnya para guru itu sekadar menyambi saja tugas sebagai pengajar sastra. Kendati demikian, jika diamati secara saksama, realitas yang semacam ini bukan sepenuhnya kesalahan para guru melainkan kesalahan paradigma pengajaran maupun pembelajaran bahasa dan sastra yang pernah diterima oleh para guru itu ketika mereka masih dalam pendidikan.
  Faktor yang ikut memperparah tidak signifikannya atau bahkan gagalnya pengajaran maupun pembelajaran sastra di sekolah adalah pada guru itu sendiri. Bukan suatu rahasia lagi bahwa sebagian besar guru sastra adalah guru bahasa yang lebih memberikan perhatian kepada permasalahan bahasa, utamanya pada masalah-masalah teknis. Oleh karena itu, jika pengajaran sastra berada dalam posisi terpuruk, bukan sesuatu yang perlu diherankan. Namun permasalahannya tentu bukan hanya pada “keheranan” atau tidaknya, melainkan pada apa upaya atau langkah-langkah yang dapat dijalankan untuk memperbaiki kenyataan yang sedemikian itu.
3.3 solusi sastra dalam KTSP
Setiap permasalahn yang datang dalam kehidupan ini tidak mungkin tanpa ada formula yang bisa digunakan untuk menyelesaikannya. Begitu pula dengan masalah sastra dalam KTSP ini, pasti ada hal yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki mutu pendidikan kita.
Solusi untuk masalah waktu yang kurang dalam pembelajaran sastra ialah sebagai berikut:
• KTSP merupakan kurikulum yang memberikan kewenangan penuh kepada sekolah khususnya guru yang melaksanakan pembelajaran untuk melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswanya. Maka dari itu kurikulum bukanlah kitab suci yang tidak boleh dirubah sesuai dengan kebutuhan. Jika guru menginginkan perubahab pada kompetensi yang ada, maka guru boleh mengubah kompetensi-kompetensi yang dirasa perlu digunakan dalam pembelajaran.
• Waktu untuk belajar tidak hanya ketika waktu yang sudah dicanangkan (jam pelajaran formal), sehingga guru dapat menyiasati waktu pembelajaran yang dirasa kurang denganmenggunakan waktu di luar jam pelajaran formal. Misalnya saja guru dapat memasukkan bidang sastra pada kegiatan ekstrakurikuler.
• Yang membuat kurikulum haruslah orang yang kompeten dalam bidangnya. Jika seorang pembuat kurikulum tidak memahami bidang itu, maka yang terjadi ialah tidak sempurnanya kurikulum yang dihasilkan. Seperti halnya dengan kurikulum dalam bahasa dan sastra Indonesia, jika yang membuat tidak mengerti tentang bahasa dan sastra Indonesia, maka yang terjadi ialah dunia pendidikan kita saat ini. Sastra menjadi terabaikan.
 Sedangkan solusi untuk masalah guru dalam pembelajaran sastra ialah sebagai berikut:
• Seorang guru bahasa dan sastra Indonesia, seharusnya memiliki perhatian yang sama dalam membelajarkan siswanya, baik itu sastra maupun bahasa. Jika setiap guru bahasa dan sastra Indonesia memiliki perhatian yang sama, maka ketimpangan sastra dalam dunia pendidikan tidak akan terjadi hingga berlarut-larut. Maka dari itu dibutuhkan kesadaran guru bahasa dan sastra Indonesia untuk memperhatikan sastra serupa ia memperhatikan bahasa.
• Dalam pendidikannya, guru bahasa dan sastra Indonesia harus dibekali kemampuan yang cukup dalam bidang sastra, sehingga tidak ada keraguan guru untuk membelajarkan sastra kepada siswa-siswanya.
• Seorang guru seharusnya mampu untuk memberiakan dorongan terhadap siswanya agar mau mempelajari sastra, sehingga di mata siswa sastra bukanlah hal yang menjemukan atau hal yang menakutkan. Seorang guru harus mampu menjadi motivator bagi diri sendiri serta untuk siswa-siswanya. 


SIMPULAN
 Berdasarkan uraian di atas, hal yang dapat kita simpulkan ialah sebagai berikut:
• Sastra seharusnya memiliki hak yang sama dengan bidang-bidang pembelajaran yang lain, sebab sastra juga memiliki peran penting dalam pembentukan watak bangsa.
• Seorang pembuat kurikulum harusnya mengerti tentang dunia pendidikan. Jika pembuat kurikulum tidak mengerti tentang bahasa dan sastra, maka kurikulum yang dihasilkanpun tidak akan mampu digunakan secara maksimal.
• Waktu yang singkat dalam pembalajaran formal bukanlah hambatan yang kemudian hanya mampu disesali guru dan pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan, sebab kurikulum KTSP memberikan kebebasan yang luas untuk guru yang ingin mengembangkan potensi siswanya.
• Seorang guru tidak harus diam dan menyerah pada keadaan siswa dan dunia pendidikan, namun seorang guru juga harus memiliki kecakapan yang baik untuk mampu mengubah siswanya menjadi generasi yang dapat diandalkan oleh bangsa. Dan untuk mencapai hal itu guru harus memiliki inovasi yang hebat dalam membelajarkan sastra pada siswanya.
• Guru juga harus mampu menjadi motivator yang baik untuk memberikan motivasi pada siswanya agar menjadi manusia unggul yang dapat diandalkan.
 Demikian ialah sekilas tentang sastra dalam kurikulum yang tidak seimbang. Semoga dengan adanya ulasan ini, kita mampu memperbaiki hal-hal yang masih lemah dalam pendidikan kita. Tentunya semua masyarakat juga harus turut serta dalam mengubah paradigma pembelajaran kita Indonesia.

DAFTAR RUJUKAN
BSNP. 2006. Standar Isi. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.
http//Johnherf.word press.com. Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. Diakses 2 januari 2009
http//Prayanta’s Site. KTSP Sebagai Kuriulum Kerakyatan. Diakses 29 Desember 2008
http// Wiyatmi_full_paper-pemb_jenderhiski.pdf. Menggagas Pembelajaran Sastra Berperspektif Jender. Diakses 29 desember 2008 
Hutomo, Suripan Sadi. 1989. Mutiara yang Terlupakan. Surabaya: HISKI Jatim.
Luxemburg, Jan van. 1989. Tentang Sastra. Terjemahan Achadiati Ikram. Jakarta: Intermasa.
Muhaimin, dkk. 2008. Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press.
Rahmanto B. 1996. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.




1 komentar:

  1. ingin tahu lebih banyak tentang pendidikan kunjungi di www.majlispendidikan.blogspot.com

    BalasHapus